Penolakan terhadap hukum-hukum Islam dan sunnah Rasulullah ﷺ sering kita dengar dan ditemukan di tangah-tengah masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, tentu dengan berbagai macam alasan dan argumentasi cacat yang mereka kemukakan. Misalnya anggapan mereka bahwa hukum Islam tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi manusia di jaman sekarang, atau alasan hukum Islam terlalu kolot dan kaku sehingga tidak bisa fleksibel mengikuti perkembangan kebutuhan manusia di era modern.

Padahal, bukankah Allah ﷻ yang menurunkan syariat Islam maha menciptakan segala sesuatu, termasuk menciptakan semua waktu dan tempat, serta maha mengetahui semua kondisi dan perubahan yang terjadi pada mahluk ciptaan-Nya, sehingga semua hukum dalam syariat Islam yang diturunkan-Nya sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap jaman dan tempat?

Allah ﷻ berfirman:

{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).

Dan bukankah Allah ﷻ maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satupun ke-baikan yang luput dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin ada satu kemuliaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya?

Maha suci Allah ﷻ yang berfirman:

{لا يَضِلُّ رَبِّي وَلا يَنْسَى}

“Rabb-ku (Allah) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” (QS Thaahaa: 52).

Dalam ayat lain, Dia ﷻ berfirman:

{وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا}

“Dan Rabb-mu (Allah ﷻ) tidak mungkin lupa” (QS Maryam: 64).

Di antara alasan penolakan mereka yang populer adalah anggapan bahwa hukum-hukum Islam tersebut identik dengan budaya bangsa ‘Arab, sehingga tidak perlu diikuti oleh selain orang ‘Arab.

Ironisnya, anggapan keliru ini tidak hanya dilontarkan oleh orang-orang awam yang bodoh, akan tetapi juga diucapkan oleh beberapa orang yang dipandang sebagai tokoh Islam dan bahkan punya latar belakang pendidikan Islam yang cukup.

Mereka tidak sadar atau pura-pura lupa bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah ﷻ untuk semua manusia dan jin dengan berbagai suku bangsa dan golongan mereka.

Allah ﷻ berfirman:

{تَبَارَكَ الَّذِي نزلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا}

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS al-Furqaan: 1).

{قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا}

“Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (QS al-A’raaf: 158).

Para ulama Ahli tafsir dari kalangan Shahabat dan Tabi’in, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Imam Qatadah al-Bashri رحمه الله menafsirkan ayat di atas bahwa Allah ﷻ mengutus Rasulullah ﷺ kepada semua golongan manusia dan jin, baik dari kalangan bangsa ‘Arab maupun ‘Ajam (selain bangsa ‘Arab)[1].

Bahkan ini merupakan salah satu keistimewaan yang Allah ﷻ berikan kepada Nabi kita yang mulia, Muhammad ﷺ dan tidak kepada Nabi-Nabi lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Dulu para Nabi ﷺ diutus kepada kaumnya sendiri sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia”[2].

Oleh karena itu, hukum asalnya dalam Islam tidak ada keutamaan dan kemuliaan di sisi Allah ﷻ pada suku bangsa atau golongan tertentu di atas yang lainnya, kecuali dengan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ}

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS al-Hujuraat:13).

Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang ‘Arab di atas orang ‘Ajam (non ‘Arab) kecuali dengan ketakwaan”[3].

Lebih dari itu, syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ juga berlaku bagi semua orang yang menganut agama selain Islam sejak jaman diutusnya Nabi Muhammad ﷺ hingga hari kiamat. Oleh karena itu, barangsiapa yang telah sampai kepadanya ajakan untuk mengikuti agama Islam kemudian dia menolaknya, maka dia termasuk penghuni Neraka Jahannam pada hari kiamat kelak, na’uudzu billahi min dzaalik.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah yang jiwaku (ada) di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari umat ini mendengarkan (sampai kepadanya) tentang aku (syariat Islam yang aku bawa), baik dia orang yang beragama Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni Neraka (di akhirat nanti)”[4].

Jawaban Umum atas anggapan yang keliru dan argumentasi yang cacat ini

Di antara jawaban umum dalam hal ini adalah sebagai berikut:

  • Hukum asal syariat Islam dan petunjuk Rasulullah ﷺ dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ adalah sebagai teladan kebaikan untuk diikuti oleh orang-orang yang beriman dalam rangka meraih kedudukan mulia di sisi Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, karena Allah ﷻ sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah ﷺ sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah ﷺ berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah ﷻ [5].

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah ﷺ dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau ﷺ”[6].

Termasuk dalam hal ini adalah semua perkara yang diperintahkan, dianjurkan atau dijelaskan keutamaannya dalam ayat al-Qur’an atau hadits yang shahih dari Rasulullah ﷺ, meskipun perkara tersebut asalnya berhubungan dengan urusan dunia, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan hal itu dikhususkan bagi Rasulullah ﷺ.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Agama Islam asalnya adalah mengikuti (petunjuk) dan meneladani Nabi Muhammad r dengan melakukan segala sesuatu yang beliau r perintahkan dan anjurkan kepada kita. Kita meneladani Rasulullah r dalam semua perbuatan beliau r yang disyariatkan bagi kita untuk mengikuti beliau r dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini berbeda dengan perkara-perkara yang hanya dikhususkan bagi beliau ﷺ, (maka tidak disyariatkan bagi kita untuk mengikuti beliau ﷺ dalm hal ini)”[7].

Sebagai contoh dalam hal ini, perintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan serta larangan melakukannya dengan tangan kiri[8], anjuran untuk memakai pakaian berwarna putih bagi laki-laki[9], anjuran untuk selalu tersenyum di hadapan sesama muslim[10], tidak menyerupai orang-orang kafir dalam pakaian atau penampilan mereka[11], tidak memakai pakaian yang melewati mata kaki bagi laki-laki[12] dan lain-lain. Semua ini meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia, akan tetapi karena ada perintah atau anjuran khusus dari Rasulullah r dalam hadits-hadits yang shahih, maka hal-hal tersebut dalam Islam hukumnya menjadi wajib atau minimal keutamaan yang dianjurkan.

2- Kalaulah kita terima bahwa hal-hal yang mereka sebutkan itu adalah budaya bangsa ‘Arab, maka ini bukanlah alasan untuk menolaknya, karena bukankah di antara kebiasaan dan budaya orang-orang ‘Arab ada yang baik sehingga pantas untuk kita ikuti dan ada yang buruk sehingga tidak pantas untuk diikuti, sebagaimana kebiasan dan budaya bangsa kita?

Agama Islam diturunkan oleh Allah ﷻ kepada manusia untuk meluruskan kesalahan dan keburukan yang ada pada diri mereka serta membenarkan dan menyempurnakan sifat-sifat baik yang sudah ada pada diri mereka. Inilah makna sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (sifat-sifat) yang mulia (baik)”[13].

Maka petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ tidak akan mungkin membenarkan dan menetapkan budaya dan kebiasaan buruk bangsa ‘Arab, bahkan hal ini sangat ditentang dengan keras oleh Rasulullah ﷺ dalam banyak hadits yang shahih.

Di antaranya, sabda beliau ﷺ: “Ketahuilah bahwa segala sesuatu (yang buruk) dari perkara (di jaman) Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini (dibatalkan/ditiadakan dalam Islam), darah-darah (yang ditumpahkan) di jaman Jahiliyah dibatalkan (tidak boleh dituntut) dan darah yang pertama kali aku batalkan adalah darah Rabi’ah bin al-Harits (anak paman Rasulullah ﷺ). Dan riba (bunga uang) di jaman Jahiliyah dibatalkan dan riba yang pertama kali aku batalkan adalah riba al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib (juga anak paman Rasulullah ﷺ), sungguh semuanya dibatalkan (dalam Islam)”[14].

Juga riwayat yang shahih dari ‘Aisyah –radhiyuallahu ‘anha- tentang empat macam bentuk pernikahan di jaman Jahiliyah, yang pertama pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini (pernikahan yang dibenarkan dalam Islam, yaitu) seorang laki-laki yang datang melamar seorang perempuan kepada walinya, lalu dia memberikan mahar kepada perempuan tersebut dan menikahinya… Kemudian ‘Aisyah menyebutkan tiga macam bentuk pernikahan Jahiliyah lainnya yang sangat bertentangan dengan syariat Islam, lalu beliau berkata: “…Kemudian ketika Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ dengan (membawa) kebenaran, maka Nabi ﷺ memusnahkan semua (bentuk) pernikahan Jahiliyah, kecuali pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini”[15].

Beberapa contoh syariat Islam yang ditolak beserta jawaban rincinya

1- Mempelajari bahasa Arab untuk memahami petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah ﷺ.

Petunjuk Allah ﷻ dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ diturunkan-Nya dengan bahasa yang bisa dipahami manusia, untuk memudahkan mereka memahami dan merenungkan petunjuk-Nya dan agar tidak ada alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran ketika telah sampai dan jelas baginya petunjuk Allah ﷻ. Bahasa yang dipilih oleh Allah ﷻ untuk menjadi bahasa wahyu-Nya adalah bahasa ‘Arab yang fasih, karena Allah I mengutus Rasul-Nya yang terakhir dari kalangan bangsa ‘Arab.

Allah ﷻ berfirman:

{إِنَّا أَنزلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian (bisa) memahaminya” (QS Yuusuf: 2).

Allah ﷻ juga berfirman:

{وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ}

“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dengan dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (malaikat Jibril ), ke dalam hatimu (wahai Muhammad ﷺ) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” (QS asy-Syu’araa’: 192-195)

{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS Ibrahim: 4).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat kedua di atas, beliau berkata: “Artinya: al-Qur’an ini yang kami turunkan kepadamu (wahai Rasulullah ﷺ) kami turunkan dengan bahsamu (yaitu) bahasa ‘Arab yang fasih, lengkap dan sempurna, supaya (kandungan maknanya) jelas dan gamblang, serta memutus ‘udzur (alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran) dan menegakkan hujjah (argumentasi kebenaran petunjuk-Nya) sekaligus sebagai dalil untuk menjelaskan kebenaran”[16].

Maka berdasarkan ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya, dapat disimpulkan bahwa mempelajari bahasa ‘Arab dalam Islam bukanlah identik dengan budaya bangsa ‘Arab atau sekedar senang dengan bahasa mereka, tapi ini berhubungan erat dengan bahasa al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ dan merupakan sarana untuk memahami dan merenungkan dengan benar petunjuk keduanya. Tentu saja semua ini merupakan kewajiban utama setiap orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan hari akhir.

Allah ﷻ berfirman:

{كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ}

“Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad: 29).

Berdasarkan inilah, para ulama Ahlus sunnah menegaskan wajibnya mempelajari bahasa ‘Arab bagi kaum muslimin, karena dengan itulah mereka bisa memahami dengan benar petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Sesunguhnya bahasa ‘Arab itu sendiri termasuk (bagian dari) agama Islam dan memahaminya adalah kewajiban yang harus dilakukan, karena sesungguhnya memahami al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ adalah wajib (hukumnya), sementara keduanya tidak akan dipahami (dengan benar) kecuali dengan memahami bahasa ‘Arab. Suatu perkara yang menjadikan (penunaian) kewajiban tidak sempurna tanpanya, maka perkara tersebut (hukumnya) wajib (untuk diusahakan)”[17].

2- Memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutup seluruh aurat perempuan ketika keluar rumah

Allah ﷻ berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59).

Dalam ayat ini terdapat perintah dari Allah ﷻ kepada semua wanita yang beriman kepada Allah ﷻ dan hari akhir untuk memakai pakaian dan jilbab yang menutupi aurat pada tubuh mereka. Perintah ini menunjukkan hal tersebut hukumnya wajib dalam Islam, sehingga bisa dipastikan bahwa perintah memakai jilbab syar’i ini bukanlah karena kaitannya dengan budaya atau kebiasaan wanita-wanita ‘Arab, tapi ini adalah perintah Allah ﷻ yang seharusnya menjadi kebiasaan baik bagi wanita-wanita yang beriman.

Terlebih lagi, dalam ayat di atas, Allah ﷻ menjelaskan hikmah agung dan kebaikan besar yang akan mereka dapatkan dengan melaksanakan perintah Allah ﷻ ini, yaitu penjagaan dari Allah ﷻ bagi kaum wanita sehingga mereka tidak diganggu dan disakiti ketika keluar rumah.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di رحمه الله berkata: “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[18].

Oleh karena itu, dalam beberapa hadits yang shahih, Rasulullah ﷺ menyebutkan ancaman yang sangat keras bagi wanita-wanita yang melanggar perintah Allah ﷻ ini, yaitu dengan keluar rumah tanpa menutup aurat, bahkan beliau ﷺ menggelari mereka dengan sebutan ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’.

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- urairah –radhiyallahu ‘anhu—,-kml;bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:  “Ada dua golongan termasuk penghuni Neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk memukul/menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang… Mereka tidak masuk Surga dan tidak mencium wanginya, padahal wanginya bisa tercium dari jarak yang sangat jauh”[19].

Dan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah ﷻ)”[20].

Arti ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’ adalah wanita-wanita yang memperlihatkan auratnya ketika keluar rumah dengan memakai pakaian yang menutupi sebagian tubuhnya dan menampakkan sebagian yang lain. Ada juga yang mengartikannya dengan wanita-wanita yang memakai busana yang tipis atau ketat sehingga memperlihatkan warna kulitnya atau bentuk tubuhnya[21].

3- Membiarkankan jenggot tumbuh dan mencukur kumis bagi laki-laki

Perkara ini juga diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah ﷺ dalam beberapa hadits yang shahih.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhum- bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh”[22].

Dan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhum- bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh, selisihilah orang-orang Majusi”[23].

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membiarkankan jenggot tumbuh dan mencukur kumis bagi laki-laki, meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia dan mungkin identik dengan kebiasaan orang-orang ‘Arab yang memang rata-rata punya jenggot yang panjang, akan tetapi karena ada perintah khusus dari Rasulullah ﷺ tentang hal ini, maka jadilah hukumnya dalam Islam disyariatkan bahkan diwajibkan, karena hukum asalnya perintah itu menunjukkan arti wajib. Apalagi perintah ini juga digandengankan oleh Rasulullah ﷺ dengan larangan menyerupai orang-orang kafir, sebagaimana dalam hadits yang kedua[24].

4- Perempuan menetap di rumah dan tidak sering keluar rumah, kecuali jika ada kepentingan yang dibenarkan dalam syariat Islam.

Hal ini juga diperintahkan dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah ﷺ yang shahih, maka jelas ini merupakan perintah yang Allah ﷻ wajibkan bagi kaum perempuan muslimah yang beriman kepada Allah ﷻ dan hari akhir, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa hal ini merupakan budaya ‘Arab yang hanya berlaku bagi wanita-wanita ‘Arab dan tidak berlaku bagi selain mereka.

Allah ﷻ berfirman:

{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}

“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzaab:33).

Imam al-Qurthubi رحمه الله, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetapi rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad ﷺ, akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)”[25].

Maka menetapnya seorang perempuan di rumah merupakan ‘aziimatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam) dan kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan, itupun dengan syarat memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutupi semua auratnya[26].

Hal ini dikarenakan seringnya wanita keluar rumah merupakan sebab terjadinya fitnah dan kerusakan, dan ini tentu dilarang keras dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) Syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah I) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[27].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz رحمه الله berkata: “Allah memerintahkan para wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi sebab (timbulnya) fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan, akan tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah”[28].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله berkata: “(Hukum) asalnya seorang wanita tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhari (no. 4517) ketika turun firman Allah ﷻ:

{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}

“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzaab:33).

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)”[29].

5- Tidak berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Hal ini barangkali tidak identik dengan budaya dan kebiasaan orang-orang ‘Arab, tapi mungkin lebih dekat dengan kebiasaan sebagian masyarakat di negeri kita, yaitu bersalam-salaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, di setiap acara, pertemuan dan perayaan hari-hari tertentu.

     Mahram bagi perempuan adalah semua laki-laki yang diharamkan dalam Islam untuk menikahinya selamanya, karena hubungan nasab, misalnya ayah dan saudara laki-lakinya, sebab yang mubah (boleh) tentang keharamannya (pernikahan), misalnya suami, bapak mertua dan putra dari suami, atau karena hubungan persusuan, misalnya ayah dan saudara laki-laki sepersusuan[30].

Hal ini meskipun mungkin asalnya bisa dikatakan sebagai budaya dan kebiasaan sebagian masyarakat, akan tetapi dalam Islam sangat dilarang dengan keras karena kerusakan dan fitnah besar yang timbul sebagai akibatnya.

Cukuplah hadits Rasulullah ﷺ berikut ini yang mengingatkan tentang besarnya kerusakan dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan”[31].

Banyak hadits shahih dari Rasulullah ﷺ yang menjelaskan larangan dan keharaman hal ini, di antaranya:

  1. 1. Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- (istri Rasulullah ﷺ), beliau menceritakan tentang baiat kaum wanita (mukminah) kepada Rasulullah ﷺ, beliau berkata: Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh seorang wanitapun dengan tangan beliau, tapi beliau mengambil baiat wanita (dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, beliau ﷺ bersabda kepadanya: “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu”[32].

Imam abu Zakaria an-Nawawi رحمه الله (Imam besar dari  madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di antaranya:

– Membaiat wanita (hanya) dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat tangan dan ucapan.

– Tidak boleh menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan lain-lain[33].

  1. 2. Dari Umaimah bintu Ruqaiqah dia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah ﷺ bersama para wanita (muslimah) untuk membaiat beliau ﷺ, lalu beliau ﷺ bersabda: “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam “sunan Ibnu majah”[34].

Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.

  1. 3. Dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)”[35].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله berkata: “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi seorang (laki-laki) yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Ini (juga) menunjukkan haramnya berjabat tengan dengan perempuan (selain istri atau mahram), karena ini termasuk menyentuh, tanpa diragukan lagi. Sungguh keburukan ini di jaman sekarang telah menimpa banyak dari kaum muslimin, yang di antara mereka ada orang-orang yang berilmu (paham agama Islam). Seandainya mereka mengingkari keburukan ini (meskipun) dalam hati mereka, maka paling tidak keburukan ini akan sedikit berkurang. Akan tetapi (parahnya) mereka (justru) menganggap halal keburukan tersebut, dengan berbagai macam cara dan pentakwilan. Sungguh telah sampai kepadaku (berita) bahwa seorang tokoh yang sangat diagungkan di (Universitas) al-Azhar (di Mesir) pernah disaksikan beberapa orang sedang berjabat tangan dengan beberapa orang perempuan (yang bukan mahramnya). Kita mengadukan kepada Allah tentang asingnya ajaran Islam”[36].

Kesimpulannya, agama Islam melarang keras dan mengharamkan bagi laki-laki untuk menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, termasuk berjabat tangan untuk berkenalan, bermaaf-maafan, berterima kasih atau alasan-alasan lainnya, karena ini akan mengantarkan kepada dampak negatif dan keburukan besar.

Penutup

Demikianlah dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin untuk memotivasi mereka agar menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, guna menjamin keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat kelak.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 29 Shafar 1437 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Lihat kitab “Tafsir Ibni Katsir” (3/711).

[2] HSR al-Bukhari (1/128) dan Muslim (no. 521).

[3] HR Ahmad (5/411) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani رحمه الله dalam “ash-Shahiihah” (no. 2700).

[4] HSR Muslim (no. 153).

[5] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di رحمه الله dalam tafsir beliau (hal. 481).

[6] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[7] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (27/504).

[8] Sebagaimana dalam HSR Muslim (no. 2020).

[9] Sebagaimana dalam HR Abu Dawud (no. 3878) dan at-Tirmidzi (3/319), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani رحمه الله.

[10] Sebagaimana at-Tirmidzi (4/339) dan Ibnu Hibban (no. 474), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban رحمه الله dan Syaikh al-Albani رحمه الله.

[11] Sebagaimana dalam HR Abu Dawud (no. 4031) dan Ahmad (2/50), dinyatakan shahih Syaikh al-Albani رحمه الله.

[12] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (5/2182).

[13] HR Ahmad (2/381) dan al-Hakim (2/670), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[14] HR Ibnu Majah (no. 3074) dan Ibnu Khuzaimah (4/251), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Syaikh al-Albani رحمه الله.

[15] HSR al-Bukhari (5/2182).

[16] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (3/462).

[17] Kitab “Iqtidhaa-ush shiraathil mustaqiim” (hlmn 207).

[18] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 489).

[19] HSR Muslim (no. 2128).

[20] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (9/131) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani رحمه الله dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).

[21] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi رحمه الله dalam “Syarhu shahih Muslim” (14/110).

[22] HSR al-Bukhari (5/2209) dan Muslim (no. 259).

[23] HSR Muslim (no. 260).

[24] Lihat penjelasan Syaikh al-Albani رحمه الله dalam kitab “Aadaabuz zifaaf” (hlmn 137).

[25] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an” (14/174).

[26] Lihat penjelasan Syaikh Bakr Abu Zaid رحمه الله dalam kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 87).

[27] HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul  ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani رحمه الله dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2688).

[28] Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (4/308).

[29] Al-Fataawa al-imaaraatiyyah.

[30] Lihat kitab “Fathul Baari” (4/77) dan “majmu’u fata-wa wa maqaalaati asy-Syaikh Bin Baz” (15/241).

[31] HSR al- Bukhari (no. 4808) dan Muslim (no. 2740).

[32] HSR Muslim (3/1489, no. 1866), bab: bagaimana (Rasulullah ﷺ) membaiat wanita.

[33] Lihat “Syarah shahih Muslim” (13/10).

[34] HR an-Nasa’i (7/149, no. 4181), at-Tirmidzi (4/151, no. 1597) dan Ibnu Majah (2/ 959, no. 2874), dinyatakan sebagai hadits yang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar (Fathul Bari 13/204).

[35] HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 486 dan 487) dan ar-Ruyani dalam “al-Musnad” (2/227), dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawa-id 4/598), al-Mundziri dan al-Munawi (lihat kitab “Faidhul Qadiir” 5/258), dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani رحمه الله dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 226).

[36] KItab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (1/225, no. 226).

Sumber Artikel : https://manisnyaiman.com/antara-syariat-islam-dan-budaya-masyrakat/