Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir, yang taat maupun durhaka.

     Allah Ta’ala Berfirman:

{وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ}

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan (bencana) dan kebaikan (kesenangan) sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS al-Anbiya’:35).

Imam Ibnu Katsir – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa… Lalu Kami akan memberikan balasan (di akhirat kelak) sesuai dengan amal perbuatanmu”[1].

Bahkan semua musibah yang menimpa manusia di dunia ini merupakan perkara yang harus terjadi (karena Allah Ta’ala telah menetapkannya dalam ketentuan taqdir-Nya) dan merupakan konsekuensi kehidupan di dunia, sesuai dengan tuntutan hikmah Allah al-Hakiim (Yang Maha Sempurna hukum dan hikmah-Nya). Kalau seandainya di dunia ini hanya ada kebaikan, kenikmatan dan kesenangan tanpa ada keburukan, bencana dan kesusahan, maka itu tempatnya di alam lain (di akhirat) dan bukan di dunia, karena negeri akhiratlah yang kebaikan dan kesenangannya murni bagi orang-orang yang beriman, tanpa ada kesusahan dan penderitaan[2].

Antara cobaan dan teguran dari Allah Ta’ala

     Allah Ta’ala berfirman:

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[3] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum: 41).

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan dan bencana yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat merupakan sumber utama musibah yang terjadi di muka bumi.

Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi -rahimahullah-[4] berkata: “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”[5].

Imam asy-Syaukaani -rahimahullah- ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirk dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[6].

Arti “kerusakan” dalam ayat di atas adalah mencakup semua bencana dan musibah di dunia, seperti rusak atau berkurangnya sumber penghasilan, penyakit, wabah, bencana alam dan lain-lain[7].

     Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura: 30).

Imam asy-Syaukani -rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Artinya: Semua musibah yang menimpamu, apapun bentuknya, sebabnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang pernah kamu lakukan”[8].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di -rahimahullah- berkata: “Allah Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[9].

Ayat-ayat al-Qur’an di atas memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa Allah Ta’ala menjadikan musibah dan bencana di muka bumi dalam berbagai bentuknya, di samping sebagai ujian bagi manusia, juga sebagai peringatan atas dosa dan maksiat yang mereka perbuat, supaya mereka segera sadar, bertaubat dari perbuatan tersebut dan kembali kepada jalan yang benar.

     Dalam potongan ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman:

{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“…supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum: 41).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di -rahimahullah-, ketika menjelaskan makna potongan ayat tersebut, beliau berkata: “Artinya: Agar mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala membalas perbuatan-perbuatan (maksiat) mereka, maka Allah menjadikan contoh balasan (azab) bagi perbuatan-perbuatan mereka (berupa bencana) di dunia.  “…Agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”, dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan (maksiat) yang menyebabkan mereka ditimpa bencana, sehingga keadaan mereka menjadi baik dan perbuatan mereka menjadi lurus. Maha suci Allah Ta’ala yang melimpahkan (kepada hamba-hamba-Nya) nikmat (di balik) bencana dan karunia (di balik) azab-Nya)”[10].

Sikap orang yang beriman ketika menghadapi musibah

Orang yang beriman memiliki ketakwaan dan keyakinan kuat dalam hatinya kepada Allah Ta’ala yang menjadikannya selalu berprasangka dan berpengharapan baik kepada-Nya. Maka masalah dan musibah sebesar apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya marah atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan kuatnya keimanannya kepada Allah Ta’ala sehingga membuatnya yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dan dengan keyakinannya ini, Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam hatinya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).

Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[11].

Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah I dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah I dalam mengahadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beban musibah tersebut bagi seorang mukmin.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

{وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ}

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan” (QS an-Nisaa’: 104).

Maka orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala”[12].

Hikmah cobaan dan musibah

Disamping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan dan penderitaan yang dialami seorang mukmin dalam menghadapi musibah, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.

Semua ini, disamping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dan dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah akan memeperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:

((أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِي))

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”[13].

Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala [14].

Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:

1– Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala, maka musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala [15].

Inilah makna yang terungkap dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:

“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi ‘alaihis salam kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tsb berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)”[16].

2– Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang[17].

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[18].

3– Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Dan inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti[19].

Inilah di antara makna yang terungkap dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

(( كُنْ فِي الدُّنْيا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ ))

“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan”[20].

Sebab-sebab terhindar dari bencana dan musibah

1- Memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Ta’ala

     Allah Ta’ala berfirman:

{وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ}

“Dan tidaklah (pula) Allah akan menimpakan azab (bencana) kepada mereka, sedangkan mereka beristigfar (memohon ampun kepada-Nya)” (QS al-Anfaal: 33).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata: “(Dalam ayat ini) Allah mengabarkan bahwa Dia tidak akan menimpakan azab (bencana) kepada orang yang beristigfar (memohon ampunan dosa kepada-Nya), karena beristigfar akan menghapuskan dosa yang merupakan sebab (turunnya) azab (bencana), maka dengan beristigfar akan tertolak bencana”[21].

Imam ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz -rahimahullah- berkata: “Tidaklah (manusia) ditimpa bencana kecuali karena dosa (yang mereka perbuat) dan tidaklah bencana tersebut diangkat/dihilangkan kecuali dengan bertaubat (kepada-Nya)”[22].

2- Beriman kepada Allah Ta’ala, mensyukuri nikmat-Nya dan melakukan amal shaleh

     Allah Ta’ala berfirman:

{مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا}

“Tidaklah Allah akan menimpakan azab kepadamu, jika kamu bersyukur dan beriman (kepada-Nya). Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (QS an-Nisaa’: 147).

Ayat yang agung ini memberikan pelajaran bahwa orang-orang yang beriman, selalu mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dan beramal shaleh dengan ikhlas, maka Allah Ta’ala tidak akan menimpakan azab dan bencana dari sisi-Nya kepada mereka, karena Allah Ta’ala hanyalah menimpakan azab dan bencana kepada manusia karena perbuatan dosa-dosa mereka[23].

     Semakna dengan ayat di atas, firman Allah Ta’ala:

{وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ}

“Dan Rabbmu (Allah Ta’ala) sekali-kali tidak akan membinasakan penduduk negeri-negeri karena perbuatan zhalim/maksiat (yang telah lampau), sedang mereka orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS Huud: 117).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di -rahimahullah- berkata: “Arti ayat ini: Dan Rabbmu (Allah Ta’ala) sekali-kali tidak akan membinasakan penduduk negeri-negeri karena perbuatan zhalim/maksiat yang dulu mereka perbuat, jika mereka telah kembali (bertaubat kepada Allah Ta’ala) dan memperbaiki amal perbuatan mereka, karena sesungguhnya Allah memaafkan kesalahan mereka dan menghapuskan kezhaliman yang dulu mereka lakukan”[24].

3- Menegakkan dakwah ke jalan Allah Ta’ala serta amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan melarang dari keburukan)

     Allah Ta’ala berfirman:

{وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً}

“Dan jagalah dirimu dari siksaan (bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya” (QS al-Anfaal: 25).

Shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum menjelaskan makna ayat ini: “Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tidak membiarkan kemungkaran terjadi di tengah-tengah mereka (tanpa ada pengingkaran), sehingga Allah akan minimpakan bencana yang merata kepada mereka semua (yang berbuat buruk maupun tidak)”[25].

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di -rahimahullah- berkata: “Bencana akan menimpa pelaku kezhaliman dan orang yang tidak melakukannya. Hal ini terjadi ketika nampak kezhaliman dan tidak diingkari, maka hukumannya (bencana dari Allah Ta’ala) akan menimpa pelakunya dan selain pelakunya secara merata. Maka cara untuk menghindari bencana ini adalah dengan mencegah kemungkaran, membasmi pelaku keburukan dan kejelekan, serta semaksimal mungkin tidak membiarkan mereka melakukan perbuatan maksiat dan kezhaliman”[26].

     Makna ayat di atas dikuatkan dengan firman Allah Ta’ala:

{لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ * كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ}

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan (Nabi) Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak saling melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu” (QS al-Maaidah:78-79).

Juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran lalu tidak (berusaha) mencegahnya, maka sebentar lagi Allah akan menimpakan hukuman (bencana) yang merata kepada mereka (semua)”[27].

4- Memurnikan Tauhid (peribadatan dan penghambaan diri) kepadaAllah Ta’ala semata dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuknya

Inilah sebab yang paling penting dan utama, karena Tauhid adalah kunci utama meraih keselamatan dari segala keburukan dan bencana di dunia dan akhirat, serta petunjuk untuk selalu menempuh jalan yang lurus[28].

     Allah Ta’ala berfirman:

{الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ}

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan (keselamatan) dan mereka itu adalah orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk” (QS al-An’aam: 82).

Sebagaimana perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala) adalah kerusakan terburuk dan sebab bencana paling besar yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala:

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[29] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum: 41).

Imam Qatadah dan as-Suddi -rahimahullah- berkata: “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar”[30].

Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta bertaubat dari segala dosa dan perbuatan maksiat yang mereka lakukan, untuk keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

                                                                                                                            Kota Kendari, 29 Muharram 1440 H

                                                                                                                            Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Tafsir Ibnu Katsir (5/342).

[2] Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (2/189).

[3] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/576).

[4] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyaahi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r , lihat “Taqriibut tahdziib” (hal. 162).

[5] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/576).

[6] Kitab “Fathul Qadiir” (5/475).

[7] Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 643).

[8] Kitab “Fathul Qadiir” (4/766).

[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 759).

[10] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 643).

[11] Tafsir Ibnu Katsir (8/137).

[12] Ighaatsatul lahfan (hal. 421-422 – Mawaaridul amaan).

[13] HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).

[14] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53).

[15] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam “Ighaatsatul lahfan” (hal. 422 – Mawaaridul amaan).

[16] HR at-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), Ibnu Hibban (7/160), al-Hakim (1/99) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh Al Albani -rahimahullah- dalam “Silsilatul ahaadits ash-shahiahah” (no. 143).

[17] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- dalam “Ighaatsatul lahfan” (hal. 424 – Mawaaridul amaan).

[18] HSR Muslim (no. 2999).

[19] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- dalam “Ighaatsatul lahfan” (hal. 423 – Mawaaridul amaan), dan Imam Ibnu Rajab -rahimahullah- dalam “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 461- cet. Dar Ibni Hazm).

[20] HSR al-Bukhari (no. 6053).

[21] Majmu’ul fataawa (8/163).

[22] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- dalam “Majmu’ul fataawa” (8/163).

[23] Lihat keterangan Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/757) dan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di -rahimahullah- dalam tafsir beliau “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 211).

[24] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 117).

[25] Dinukil dan dibenarkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/395).

[26] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 318).

[27] HR Ahmad (1/2 dan 5), Ibnu Majah (no. 4005) dan Ibnu HIbban (1/540), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani -rahimahullah-.

[28] Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- dalam kitab “ash-Shawaa-‘iqul mursalah” (3/1058).

[29] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/576).

[30] Dinukil oleh imam al-Qurthubi -rahimahullah- dalam tafsir beliau (14/40).

sumber : https://manisnyaiman.com/musibah-dan-bencana-antara-cobaan-dan-teguran/