Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA.
Allah ﷻ berfirman,
﴿ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ ﴾
“Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS Al-Maidah: 79)
Ayat diatas adalah rangkaian dari QS Al-Maidah: 79 yang menjelaskan kondisi orang kafir dari kalangan bani Israil yang dilaknat Allah karena meninggalkan Amar Makruf Nahi Mungkar. Mereka melakukan kemungkaran, dan tidak saling mengingkari kemungkaran tersebut. Termasuk para rahibnya yang menginginkan keuntungan duniawi, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya,
﴿ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ﴾
“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit” (QS Al-Maidah: 44)
Para rahib tersebut khawatir dunia mereka terputus jika mereka melakukan nahi mungkar.
Berikut ini Tiga Tingkatan Amar Makruf Nahi Mungkar([1]):
Pertama: berdakwah
Yaitu menyampaikan tentang hal yang makruf dan haramnya kemungkaran, meskipun yang makruf itu sedang dikerjakan atau kemungkaran belum terjadi. Ini termasuk dalam kategori pengajaran, karena nahi mungkar tidak hanya untuk sesuatu yang ada di hadapan kita. Dalam hal ini berdakwah lebih umum daripada amar makruf nahi mungkar.
Kedua: amar makruf nahi mungkar
Yaitu apabila ada hal makruf yang ditinggalkan, seperti orang yang malas salat atau bersedekah, sehingga kita memotivasinya. Juga apabila ada kemungkaran yang dilakukan. Inilah perbedaan amar makruf nahi mungkar dengan berdakwah. Karena dalam berdakwah, kita tetap menyampaikan keutamaan salat, meskipun terhadap orang-orang yang rajin salat. Adapun amar makruf nahi mungkar kita sampaikan ketika ada kemakrufan yang ditinggalkan atau kemungkaran yang terjadi.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa amar makruf nahi mungkar itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi dan kapasitas.
Ketiga: mengubah kemungkaran
Yaitu menghentikan kemungkaran yang sedang terjadi dengan fisik. Yang berhak melakukan ini adalah orang yang memiliki kekuasaan. Jika kemungkaran terjadi di rumah, maka yang berhak mengubah kemungkaran adalah kepala keluarga. Adapun jika berkaitan dengan kepentingan orang banyak dan masyarakat umum, maka yang berhak adalah pemerintah. Sekiranya mengubah kemungkaran dalam hal ini dilakukan oleh siapa saja tanpa aturan, maka justru menimbulkan kekacauan.
Bagaimana jika penguasa tidak mengubah kemungkaran tersebut? Itu pertanggungjawaban mereka dengan Allah ﷻ. Kita harus mengenal ranah kewajiban masing-masing. Jika ada hal yang bukan ranah kita, maka janganlah memasukinya. Kita bisa memberi masukan kepada pemerintah. Namun jika mereka tidak mau memenuhinya maka itu urusan mereka dengan Allah ﷻ.
Persyaratan mengubah kemungkaran: ([2])
1. Berilmu bahwa itu memang kemungkaran, yaitu terhadap hal yang:
- Disepakati akan kemungkarannya.
- Masih ada perselisihan tentangnya, namun perselisihan tersebut tidak muktabar. Misalnya hukum musik. Memang masih ada perselisihan tentang itu, namun, perselisihannya tidak muktabar sehingga bisa kita ingkari. Hanya saja, pengingkaran dimaksud adalah dengan menjelaskan dalil dan mengingatkan keharamannya. Tidak boleh bagi kita untuk mengingkarinya secara fisik, karena itu adalah wewenang pemerintah.
Adapun dalam perkara-perkara yang merupakan ranah ijtihad di kalangan ulama, maka tidak boleh diingkari, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim.([3])
2. Kemungkaran tersebut memang benar-benar kemungkaran bagi Karena bisa jadi ada kemungkaran yang relatif, yang bukan merupakan kemungkaran bagi kalangan tertentu. Contohnya, makan pada siang hari bulan Ramadan merupakan kemungkaran bagi seorang muslim yang mukim dan sehat, namun bagi musafir atau orang sakit maka itu bukanlah kemungkaran baginya.
3. Tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Yaitu, jangan sampai melarang suatu kemungkaran justru malah memunculkan kerusakan yang lebih besar. Ini membutuhkan pemahaman dan kejelian. Kita perlu memperhatikan situasi dan kondisi. Betapa banyak orang yang mencegah kemungkaran tapi justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Hal ini juga bisa menyebabkan orang-orang semakin jauh dari sunah. Karena itu yang mampu melakukan ini adalah orang yang memiliki fikih dalam amar makruf dan nahi mungkar. Tidak semua orang mampu melakukannya.
4. Yang melakukan nahi mungkar seharusnya orang yang tidak melakukan kemungkaran tersebut. Bagaimana mungkin seseorang melarang orang lain dari berzina atau meminum khamar, sementara dirinya sendiri adalah pezina dan peminum khamar. Syarat keempat ini masih diperselisihkan oleh ulama. Pendapat yang tepat adalah itu bukan syarat, sebagaimana yang dikuatkan oleh Al-Qurthubi.([4]) Tindakan maksiat itu tercela, tapi dengan melarang orang lain dari melakukan maksiat yang sama maka bisa meminimumkan tersebarnya maksiat tersebut. Pelaku maksiat memang tercela, tapi meninggalkan kemaksiatan bukan syarat untuk menegur yang semisalnya. Oleh karena itu Allah ﷻ berfirman,
﴿ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ﴾
“Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.”
Kalimat “yang mereka perbuat” menunjukkan bahwa mereka tetap wajib untuk saling melarang dari kemungkaran. Mereka akan terlaknat apabila melakukan kemungkaran dan tidak saling melarangnya.
Al-Qurthubi mengisyaratkan bahwa عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ “saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat” menunjukkan orang melarang dan dilarang sama-sama melakukan kemungkaran([5]). Ketika mereka semua melakukan kemungkaran dan tidak saling mengingatkan maka mereka dilaknat. Walaupun dia melakukan kemaksiatan namun dia tetap wajib untuk memperingatkan selainnya. Hal itu semoga bisa menjadi nasihat bagi dirinya sendiri agar nantinya ia bisa berhenti dari kemungkaran. Memang, orang yang melarang melakukan maksiat namun dia sendiri melakukannya, maka ia terkena ancaman yang berat.
Nabi ﷺ bersabda,
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Seseorang dihadirkan pada hari kiamat lalu dia dilempar ke dalam neraka. Isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar menarik alat penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengelilinginya seraya berkata, ‘Wahai Fulan, apa yang terjadi denganmu? Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat makruf dan melarang kami berbuat mungkar?’ Orang itu berkata, ‘Aku memang memerintahkan kalian agar berbuat makruf tapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Aku melarang kalian berbuat munkar, tapi aku malah mengerjakannya.’” ([6])
Demikianlah, namun jika dia melakukan kemaksiatan dan tidak melakukan nahi mungkar, maka dosanya dan kemungkarannya bertumpuk. Karena meninggalkan mencegah kemungkaran itu pun termasuk kemungkaran tersendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Qurthubi, “Enggan mencegah kemungkaran itu statusnya seperti halnya pelaku kemungkaran.”([7])
Dengan demikian, seseorang berkewajiban untuk meninggalkan maksiat dan sekaligus menegur orang yang melakukan kemaksiatan.
______
Footnote:
([1]) Lihat: Tafsir Ibn ‘Utsaimin, surah Al-Maidah, vol. II, hlm. 244.
([2]) Lihat: Tafsir Ibn ‘Utsaimin, vol. II, hlm. 237.
([3]) Lihat: I’lam Al-Muwaqqi’in, vol. III, hlm. 224.
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 253.
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 254.
([6]) HR Al-Bukhari no. 3267.
([7]) Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 237.
Sumber Artikel : https://firanda.com/tiga-tingkatan-amar-makruf-nahi-mungkar/